Musyawarah dan Kekhilafahan dalam Islam
Pembahasan Tentang Ayat-ayat Musyawarah
Baik dahulu maupun sekarang
kaum Muslimin berbeda pendapat di dalam cara bagaimana menentukan imam dan
khalifah. Pada jaman dahulu perbedaan pendapat tersebut lebih banyak berwujud
dalam tataraan kenyataan praktis dan pencrapaan lapangan dibandingkan pada
tingkatan teori dan pemikiran. Adapun pada jaman sckarang perbedaan tersebut
hanya terbatas pada tataran pemikiran, tidak melampaui tingkat pertengkaran
ucapan dan argumentasi teoritis.
Partisipasi kita di
dalam menyelesaikan pertengkaran ini ialah dengan cara kita akan mendiskusikan
penunjukkan (dilâlah) ayat-ayat musyawarah (syura) yang terdapat di dalam
Al-Qur'an yang dijadikan sandaran oleh kalangan Ahlus Sunnah di dalam pandangan
mereka. Kemudian setelah itu kita akan mengkaji musyawarah dalam tataran
kenyataan praktis setelah wafatnya Rasulullah saw dan sekaligus ber-bagai
peristwa yang terjadi sesudahnya.
Allah SWT berfirman,
"Maka disebabkan
rahmat dan Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkaniah ampunan bagi mereka,
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)
"Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Danjika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Baqarah: 233)
"Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. " (QS.
asy-Syura: 38)
Kalangan Ahlus Sunnah,
di dalam masalah kekhilafahan bersandar kepada konsep syura. Mereka mengatakan
bahwa kekhilafahan kaum Muslimin tidak dapat ditentukan kecuali melalui
musyawarah. Oleh karena itu, mereka mensyahkan kekhilafahan Abu Bakar, yang
terpilih melalui musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah. Sedangkan pandangan kedua,
yaitu kalangan Syi'ah, memandang bahwa masalah kekhilafahan harus ditentukan
dan diangkat oleh Allah SWT, karena tidak ada jaminan terpilihnya orang yang
paling layak berdasarkan pandangan pertama. Hal itu dikarenakan masalah
musyawarah sangat dipengamhi dengan pengaruh-pengaruh emosi dan perasaan
manusia, pandangan-pandangan pemikiran dan kejiwaan mereka dan juga afiliasi
mereka kepada keyakinan, sosial dan politik tertentu. Di samping itu, musya-warah
juga membutuhkan tingkat ketulusan, objektifitas dan keter-bebasan dari
berbagai pengaruh yang disadari maupun yang tidak disadari. Oleh karena itu,
mereka (kalangan Syi'ah) mengatakan Rasulullah harus mempunyai wasiat yang
jelas di dalam masalah kckhilafahan. Mereka mengatakan Rasulullah saw telah
menetapkan khalifah dan bahkan khalifah-khalifah sepeninggalnya. Atas dasar
itu, mereka meyakini kekhilafahan Ali bin Abi Thalib as, dan bahwa musyawarah
yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanyalah diperuntukkan bagi beberapa tema
permasalahan yang khusus berkaitan dengan pelaksanaan dan penerapan hukum,
bukan berkaitan dengan penentuan hakim (pemimpin), yang merupakan kedudukan
Ilahi.
Oleh karena perbedaan
tersebut hanya terbatas di antara dua pandangan ini, maka kebatilan salah
satunya akan membuktikan kebenaran yang lainnya, dan sebagai akibatnya
membuktikan kebenaran atau kebatilan kekhilafahan khalifah, baik khalifah itu
Abu Bakar dan khalifah-khalifah lain yang menggantikannya atau khalifah itu Ali
dan para washi yang menggantikannya.
Kita telah membuktikan
pada pasal-pasal sebelumnya, dengan tidak meninggalkan keraguan sedikit pun,
akan kebenaran pandangan yang mengatakan lebih berhaknya Ahlul Bait di dalarn
kekhilafahan Islam, dan bahkan merupakan hak yang khusus bagi mereka dan tidak
bagi selain mereka. Namun, untuk lebih menyempurnakan faidah dan menjelaskan
hakikat, mau tidak mau kita harus mcndiskusikan konsep musyawarah sebagai
semata-mata sebuah konsep, dan sampai sejauh mana kelayakannya di dalam masalah
pemilihan khalifah kaum Muslimin.
Kalangan pendukung
konsep musyawarah, di dalam menegakkan pandangannya sangat bersandar kcpada
ayat-ayat Al-Qur'an yang telah kita scbutkan pada awal pembahasan. Ayat-ayat
tersebut menjadi pokok pembahasan di dalam bab ini.
Jika kita mengkaji
ayat-ayat di atas niscaya akan jelas bagi kita bahwa konsep musyawarah Islam
tergambar dalam dua bentuk:
1.Tema musyawarah yang
hendak dimusyawarahkan adalah suatu urusan yang bersifat parsial, di dalam
konteks yang sempit dan terbatas, seperti terna penyapihan anak yang masih
menyusu, sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat, "Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan..." Jenis musyawarah ini tidak menjadi bahan pertengkaran,
dan oleh karena itu kita tidak perlu mendiskusikannya.
2.Tema musyawarah yang
hendak dimusyawarahkan adalah suatu perkara umum yang mcnjadi perhatian seluruh
kaum Muslimin, Seperti mengumumkan perang terhadap musuh atau memilih khalifah
kaum Muslimin.
Tidak diragukan, bahwa
dalam masalah yang seperti ini kaum Muslimin harus merujuk kepada Rasulullah
saw. Karena tidak lah logis sebuah musyawarah terlaksana dengan tidak ada
pendapat Rasulullah saw di dalamnya. Bahkan, termasuk buruk dalam pandan-gan umum
('urf) dan pembangkangan menurut syariat jika sebuah musyawarah dilakukan
dengan tanpa merujuk kepada Rasulullah saw atau orang yang menempati
kedudukannya, yaitu wali amri. Allah SWT berfirman, "Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dari mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri)." (QS. an-Nisa: 83)
Jenis musyawarah ini
berdasarkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah..." mempunyai tiga rukun:
1. Adanya orang-orang
yang bermusyawarah, sehingga musyawarah terlaksana. Dan ini ditunjukkan oleh
kata ganti hum (mereka) di dalam kata "wa syawirhun".
2.Adanya materi dan tema
yang dimusyawarahkan, sehingga dengan itu musyawarah terlaksana.
3.Adanya pemimpin yang
mengatur musyawarah, dan putusan terakhir bergantung kepada pandangannya. Ini
ditunjukkan oleh kata ganti ta mukhaththab (orang kedua) pada kalimat "faidza
'azamta fatawakkal 'alallah..." Tidak diragukan, jika yang menjadi tema
adalah urusan umum yang berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin maka yang
mempunyai hak memutuskan ialah wali amril Muslimin.
Tidak mungkin musyawarah
yang sah dalam bentuknya yang Islami dapat terlaksana dengan tidak adanya salah
satu di antara ketiga rukun di atas. Bisa saja wali aniri ada, orang yang
bermusyawarah ada, namun tema musyawarah tidak ada, maka di sini musyawarah
tidak terselenggara sama sekali. Oleh karena tidak ada permasalahan yang dapat
mereka diskusikan dan musyawarahkan. Atau, bisa juga wali amri ada, tema
musyawarah ada, namun kumpulan manusia yang akan bermusyawarah tidak ada, maka
di sini berubah status dari musyawarah kepada nas atau perintah.
Atau juga, kumpulan
manusia yang bermusyawarah ada, tema musyawarah ada, namun wali amri tidak ada,
maka di sini musyawarah tidak berlangsung dengan bentuknya yang sah sebagaimana
yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Kitab-Nya, ketika Dia mewajibkan adanya
pengawas atas musyawarah, yang menjadi tempat kembalinya urusan, Ketika
masing-masing dari mereka mengeluarkan pandangannya, maka dia (wali amr) harus
menjadi rujukan seluruh pandangan.
Musyawarah yang tidak
sah ini tidak mungkin bisa mengeluarkan keputusan-keputusan yang sah dan
mengikat seluruh kaum Muslimin. Karena musyawarah ini bertentangan dengan apa
yang telah ditekankan oleh ayat bahwa pada akhirnya urusan bcrgantung kepada
wali amri, "Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati, maka
bertawakallah kepada Allah."
Mungkin saja ada orang
yang membantah dan berkata bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan rnereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah..." adalah khusus untuk Rasulullah, sehingga
tidak mengharuskan adanya wali amri di dalam musyawarah; dan tidak ada halangan
musyawarah dilaksanakan dengan tanpa adanya wali amri, berdasarkan petunjuk
ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. " Karena
di dalam zahir ayat tidak terdapat kata wali amri yang berketetapan hati dan
bertawakal, sebagaimana yang terdapat di dalam ayat yang pertama.
Bantahan ini dapat
dijawab dengan beberapa jawaban berikut:
1. Sesungguhnya seluruh
yang tertelapkan bagi Rasulullah saw, seperti hak ketaatan, juga tertetapkan
bagi wali amri, berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Taatilah
Allah, taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu." Dengan begitu menjadi
jelas bahwa jenis ketaatan kepada wali amri adalah jenis kctaatan yang sama
dengan ketaatan kepada Rasulullah saw, disebabkan adanya athaf secara pasti,
sebagaimana digunakannya satu kata (yaitu kata "taatilah") untuk
keduanya, yaitu "Taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu... " Jika
seandainya digunakan kata "athi'u" untuk ketiga kalinya bagi ulil
amri, maka barulah benar perkataan yang mengatakan di sana terdapat perbedaan
di antara dua ketaatan tersebut.
2.Sesungguhnya tata cara
musyawarah yang telah Allah tetapkan dalam urusan-urusan umum yang berhubungan
dengan seluruh kaum Muslimin adalah satu, "Dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudianjika kamu telah membulatkan tekad maka
bertawakallah kepada Allah." Sehingga penggunaan tata cara lain menuntut
adanya dalil syariat yang menghasilkan perkara-perkara syariat, seperti
kewajiban taat terhadap apa yang dihasilkan oleh musyawarah ini. Dan
berargumentasi dengan ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah di antara mereka" untuk cara yang kedua dari musyawarah
tidaklah sempurna.
Karena perkataan ini
mendapat bantahan bahwa —tidak diragukan— ayat ini turun kepada Rasulullah saw.
Dalam arti, ayat ini turun pada saat Rasulullah masih hidup di tengah-tengah
kaum Muslimin. Akal dan agama tentunya melarang kaum Muslimin bermusyawarah
tentang suatu urusan umum yang menyangkut urusan seluruh kaum Muslimin dengan
tanpa kehadiran Rasulullah saw di antara niereka dan dengan tanpa merujuk
kepada beliau. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah harus berada
di tengah mereka ialah, bahwa kata ganti hum (mereka) di dalam ayat
"Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka
" mencakup Rasulullah saw. Di samping itu, sesungguhnya konteks ayat di
atas berbicara tentang sifat-sifat orang Mukmin yang menang, "Maka sesuatu
apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang
ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal Dan (bagl) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah
mereka memberi rnaaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah di antara mereka; dan merteka menafkahkan sebagian reieki yang Kami
berikan kepada mereka." (QS. asy-Syura: 36-38)
Tidak diragukan bahwa
seutama-utamanya ekstensi (mishdaq) orang-orang Mukmin adalah Rasulullah saw.
Tidak diragukan bahwa Rasulullah saw adalah salah seorang dari mereka. Jika
telah terbukti bahwa Rasulullah saw termasuk bagian dari musyawarah ini, maka
tentu Anda tahu bahwa urusan musyawarah di dalam ayat ini kembali kepada
Rasulullah saw, dan tentunya musyawarah ini tidak akan sempurna kecuali dengan
ketetapan hati beliau, "Kemudian jika kamu telah berbulat hati maka
bertawakallah kepada Allah."
Dengan demikian,
sesungguhnya musyawarah ialah sebagaimana cara yang pertama. Seluruh yang
terdapat di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah di antara mereka" adalah bersifat umum dan mujmal, sedangkan
ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apahila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah"
adalah merupakan penjelas dan perinci baginya.
Setelah saya menjelaskan
ini, dengan segera saya menambahkan bahwa kita akan sampai kepada hasil yang
terbatas jika kita berpendapat bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan
mereka..." ini hanya khusus untuk Rasulullah saw, dan tidak untuk ulil
amri. Karena jika demikian musyawarah tidak akan bisa berlangsung kecuali
dengan adanya Rasulullah. Dan jika Rasulullah saw meninggal dunia maka tidak
ada musyawarah, disebabkan tidak adanya salah satu rukun dasar di dalam
musyawarah, yaitu Rasulullah saw. Namun jika kita me-ngatakan ayat ini tidak
hanya khusus terbatas bagi Rasulullah saw saja, maka berarti kita mengatakan
ayat ini juga mencakup ulil amri, sehingga dengan begitu musyawarah tetap ada
dan sah dengan syarat adanya wali amri di dalamnya. Dan wali amri memiliki
hak-hak yang dimiliki oleh Rasulullah saw di dalam musyawarah, karena dia menempati
tempat Rasulullah. Sehingga dengan demikian, makna "Dan urusan mereka
(diselesaikan) dengan permusyawatan di antara mereka' ialah mereka tidak dapat
menyimpulkan suatu urusan dengan tanpa bermusyawarah kepada Rasulullah saw, di
dalam urusan-urusan agama yang mereka perlukan. Sebagaimana firman Allah SWT,
"Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri dari mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri)."
Berdasarkan kedua
pendapat di atas, maka pandangan musyawarah di dalam pengangkatan khalifah
menemui jalan buntu, yang berakibat kepada batalnya pandangan tersebut.
Berdasarkan pendapat pertama, yaitu yang mengatakan "Dan bermusyawarahlah
dengan mereka di dalam urusan itu..." hanya khusus untuk Rasulullah saw,
sebagaimana diketahui bahwa musyawarah yang diselenggarakan untuk mengangkat
khalifah pertama itu dilakukan setelah wafatnya Rasuullah saw, sehingga dengan
begitu tentunya dia merupakan musyawarah yang tidak sah menurut hukum Islam dan
pandangan Al-Qur'an, dan dengan begitu maka berarti seluruh keputusan yang
dihasilkan darinya adalah tidak sah, yang salah satunya adalah pengangkatan
khalifah pertama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab
hadis tentang tata cara pengangkatannya, pada sebuah tempat yang mereka namakan
dengan Saqifah Bani Sa'idah. Adz-Dzahabi telah merekam peristiwa tersebut di
dalam kitab sejarahnya. Sebagaimana peristiwa ini direkam juga di dalam Sahih
Bukhari, di dalam kitab al-hudud, bab merajam wanita yang mengandung hasil
perbuatan zina, dengan riwayat dari Umar bin Khatab. Ibnu Jarir ath-Thabari
juga merekam peristiwa ini di dalam kitab sejarahnya tatkala dia menceritakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 11 Hijrah, di dalam jilid 2 dari
kitab sejarahnya. Demikian juga Ibnu Atsir, dan Ibnu Qutaibah di dalam kitabnya
Tarikh al-Khulafa, jilid 1. Dan begitu juga kitab-kitab referensi sejarah
lainnya.
Adapun berdasarkan
pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa ayat "Dan
bermusyawarahlah dengan mereka... " terlaksana dengan adanya Rasulullah
saw atau orang yang menempati kedudukannya, musyawarah yang sah tidak dapat
terlaksana kecuali dengan adanya wali amri, dan wali amri tidak dapat diangkat
kecuali dengan musyawarah yang sah, maka ini berarti terjadi dawr (berputar),
dan dawr itu mustahil. Karena, tidak mungkin musyawarah yang sah dilaksanakan
kecuali setelah adanya wali amri, sementara wali amri tidak mungkin ada kecuali
setelah dilaksanakannya msuyawarah yang sah. Ini berarti perkara ini bergantung
kepada dirinya, sehingga dengan begitu tidak akan mungkin musyawarah yang sah
terlaksana untuk selamanya. Kecuali jika dikatakan bahwa di sana ada seorang
wali amri yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, yang keberadaannya lebih
dulu dibandingkan keberadaan musyawarah. Ini berarti penerimaan terhadap
"pandangan nas", yang dikatakan oleh madrasah Ahlul Bait.
Mungkin ada orang yang
mengatakan tidak wajib adanya wali amri di dalam musyawarah, melainkan cukup
dengan adanya orang yang bermusyawarah. Jika Anda membantah dengan mengatakan
bahwa dhamir pada kata 'azamta menunjukkan hak orang yang bermusyawarah untuk
mengambil keputusan, dan ini menunjukkan bahwa dia itu wali amri di dalam
musyawarah, maka bantahan ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa kata in
'azamta (apabila kamu berbulat hati) adalah berarti berbulat hati untuk
melaksanakan hasil musyawarah.
Sesungguhnya zahir ayat
di atas tidak demikian. Karena yang paling tampak dari ayat ini ialah
tertetapkannya hak mengambil keputusan padanya. Dengan kata lain, sesungguhnya
perkataan di atas baru dikatakan benar jika pendapat orang-orang yang
bermusywarah itu satu; akan tetapi jika pendapat orang-orang yang bermusyawarah
itu bermacam-macam, bagaimana musyawarah dapat mengambil keputusan?
Jika orang itu
mengatakan harus berdasarkan suara mayoritas, mana dalilnya? Justru Allah SWT
sering mengecam kelompok mayorits di dalam banyak ayatnya, "... kebanyakan
orang yang ada di muka bumi berusaha menyesatkan kamu." Bahkan,
perkataannya ini bertentangan dengan bunyi ayat yang menyerahkan urusan
pengambilan keputusan kepada satu orang yang bermusyawarah manakala terjadi
perbedaan pendapat. Jika kita menerima ini, maka berarti orang itu telah keluar
dari sifat orang yang bermusyawarah kepada sifat sifat seorang wali di dalam
musyawarah. Bahkan, sekali pun orang-orang yang bermusyawarah sepakat atas
suatu pendapat, maka orang itu (wali amri) tetap mempunyai hak untuk menetapkan
atau tidak menetapkannya.
Dari pembahasan di atas
menjadi jelas bahwa pandangan musyawarah berada di antara dua jalan buntu:
1.Musyawarah dapat
dilakukan dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulul amri. Musyawarah yang
seperti ini batal dan tidak sah. Dan pendapat yang mengatakan mungkinnya
dilakukan musyawarah dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulil amri
memerlukan kepada dalil agama, namun tidak ada dalil agama yang menunjukkan
kepada hal itu.
2.Atau, musyawarah
dilakukan dengan adanya wali amri yang dijadikan sebagai rujukan. Kemungkinan
ini dapat dibayangkan dalam beberapa bentuk:
a. Wali amri sendiri
menobatkan dirinya sebagai wali amril Muslimin. Cara yang seperti ini tentunya
sesuatu yang tidak dibolehkan oleh agama. Ini merupakan sebuah perampasan tidak
sah terhadap hak-hak kaum Muslimin, sehingga bagaimana bisa ketaatan kepadanya
menjadi wajib atas seluruh kaum Muslimin.
b. Atau, adanya
sekelompok kecil orang yang mengurusi urusan kaum Muslimin. Di sini pun kita
tetap terperosok ke dalam dua jalan buntu yang telah kita bicarakan. Dalam
bentuk ini kita akan tetap jatuh kepada pertanyaan, alasan syariat yang mana
yang membenarkan kita mentaati mereka, dan mana dalilnya?!
c. Allah SWT dan
Rasul-Nya menetapkan seseorang sebagai wali amri. Maka di sini tidak diperlukan
lagi musyawarah, disebabkan tidak mungkin menentang Allah SWT dan Rasul-Nya.
Pandangan ini sendiri adalah pandangan nas atau pandangan wasiat, sehingga
dengan begitu ternafikanlah pandangan musyawarah. Dan sebagai konsekwensinya
adalah batalnya kekhilafahan pertama.
Dengan
penjelasan-penjelasan ini menjadi jelas batalnya pandangan musyawarah di dalam
menentukan khilafah dari semua segi, sehingga kita layak memalingkan tema
musyawarah yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur'an al-Karim kepada tema-tema
selain pengangkatan wali amril Muslimin, seperti musyawarah mengenai cara-cara
penerapan hukum, strategi peperangan dan sebagainya, sebagai-mana yang menjadi
konteks ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam urusan itu.
"
Tidak tersisa lagi pintu
bagi mereka, kecuali jika mereka mengklaim bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya telah
mengangkat dan menetapkan kekhilafahan pertama (kekhilafahan Abu Bakar). Namun,
Abu bakar sendiri tidak mengklaim hal itu. Karena jika Abu Bakar mengklaim hal
itu, maka tentu dia akan berhujjah dengannya kepada orang-orang Anshar pada saat
di Saqifah.
Salah satu hal lain yang
juga jelas diketahui dari ayat syura ialah bahwa Allah SWT tidak mempercayai
mereka dalam masalah strategi perang, yang masih merupakan sesuatu yang berada
di dalam ruang lingkup sesuatu yang dapat dimusyawarahkan —sebagaimana yang
dapat dipahami dari konteks ayat, dan— apalagi mempercayai mereka dalam sebuah
urusan yang lebih besar, yaitu memilih khalifah pengganti Rasulullah saw. Jika
Anda tidak mempercayai seseorang untuk mengelola uang seratus dinar, maka
bagaimana mungkin Anda mempercayainya untuk mengelola uang seribu dinar.
Kemudian, bagaimana
mungkin masuk akal Allah SWT menyerahkan kepada umat untuk memilih sendiri
khalifahnya, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya saw telah mengetahui akan
terjadinya pembelotan langsung setelah wafatnya Rasulullah saw, "Apakah
jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang (murtad)?..."
Jika Anda memperhatikan ayat ini dengan seksama niscaya akan jelas bagi Anda
bahwa orang-orang yang diseru di sini adalah orang-orang Muslim. Karena tidak
ada artinya pembelotan orang kafir, dan juga tidak bisa pembelotan ini
diterapkan kepada Musailamah al-Kadzdzab, karena pembelotannya terjadi pada
masa Rasulullah saw.
Tidak masuk akal jika
Allah SWT dan Rasul-Nya membiarkan urusan ini menjadi sia-sia di tengah-tengah
kaum Muslimin, padahal Dia tahu akan terjadi berbagai fitnah di antara kaum
Muslimin apabila tidak ditentukan pemimpin yang akan menjadi rujukan mereka.
Sejarah menjadi saksi akan hal itu, di mana ketiadaan wali amri telah menyebabkan
timbulnya berbagai fitnah di tengah-tengah kaum Muslimin. Penyimpangan ini
terus berlanjut hingga orang-orang yang fasik, orang-orang yang berbuat
kerusakan, dan orang-orang yang tidak mempunyai rasa malu, akhlak dan agama,
berkuasa atas kaum Muslimin. Untuk menambah keyakinan Anda, silahkan putar
balik jarum jam Anda mulai dari empat belas abad yang lalu, lalu silahkan
berhenti sejenak pada masa dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbas, yang memerintah
manusia selama periode tertentu, supaya Anda dapat mengenal para penguasa
mereka dan bagaimana mereka secara terang-terangan meminum khamar, dan
bagaimana mereka bermain dengan anjing dan kera, setelah terlebih dahulu
binatang-binatang itu dikenakan baju sutera yang halus dan perhiasan emas; dan
perbuatan-perbuatan keji lainnya yang dilakukan para penguasa, yang sejarah pun
merasa malu untuk mencatatnya.
Ini merupakan salah satu
bukti yang menunjukkan kejelekan-kejelekan konsep "pemilihan" dan
sekaligus kemandulan konsep ini sejak dari dasarnya. Karena, orang yang kita
pilih hari ini mungkin saja kita benci keesokan harinya, namun kita tidak mampu
menurunkannya setelah menempatkan dia sebagai pemimpin. Kaum Muslimin telah
berusaha mengerahkan segenap usahanya untuk menurunkan Usman, namun Usman
enggan turun dengan mengatakan, "Saya tidak akan melepaskan pakaian yang
telah Allah SWT kenakan kepada saya."
Setelah kita membuktikan
kelemahan dua dalil yang telah dikemukakan kelompok pertama, yang telah
menjadikan konsep musyawarah sebagai pilar dasar di dalam memilih khalifah yang
akan mengurusi urusan kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah saw, dan setelah
jelas bagi kita jauhnya kedua dalil tersebut dari maqam khilafah dan
kepemimpinan, kita kembali memejamkan mata dari kenyataan ini dan tetap saja
tunduk dan menerima kedua dalil dalam masalah khilafah dan kepemimpinan ini,
serta pura-pura tidak tahu akan penyimpangan-penyimpangan yang dimiliki
keduanya.
Apakah sikap pura-pura
tidak tahu dan penerimaan akan kemandulan pandangan ini akan dapat
menyelesaikan ketidak-jelasan peraturan di dalam semua hal yang berkaitan
dengan cara pelaksanaan kandungannya? Kedua dalil ini tidak dapat meluruskan
kebengkokan dan menutupi celah-celah kekurangan konsep ini. Karena konsep ini
membutuhkan pembatasan dan perincian akan maknanya. Kedua nas yang diisyaratkan
di atas, juga kehilangan ukuran-ukuran musyawarah dan cara-cara
pengoreksiannya, di samping konsep ini juga memerlukan alat-alat pelaksanaan di
dalam penerapannya.
Kita tidak mendapati di
dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat serta di dalam sejarah kehidupan
Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw telah mengemukakan konsep
ini dan mengharuskan umat untuk melaksanakannya. Jika Rasulullah saw telah
melakukan yang demikian, maka tentu kita mendapati Rasulullah saw telah
menetapkan petunjuk-petunjuk yang jelas tentang hal itu, atau tentunya telah
membiasakan hal itu di tengah-tengah umatnya guna mempersiapkan mereka, baik
dari segi pemikiran, kejiwaan dan politik, supaya bisa melaksanakan konsep ini.
Atau setidaknya beliau
telah mempersiapkan beberapa contoh figur yang cakap untuk memegang
kepemimpinan percobaan dan pengawasan terhadap syariat dan pelaksanaannya.
Namun, sebagaimana yang telah kita kemukakan, tidak ada bukti-bukti yang
menunjukkan kepada yang demikian itu.
Musyawarah, Dalam Kenyataan Pelaksanaan
Musyawarah Dan Saqifah
Bani Sa'idah Para sejarahwan
menyebutkan bahwa kekhalifahan Abu Bakar diperoleh melalui jalan pencalonan dan
pemilihannya di Saqifah Bani Sa'idah. Peristiwa Saqifah, pada kenyataannya
merupakan pijakan dasar yang dijadikan sandaran oleh Abu Bakar di dalam
kekhalifahannya atas kaum Muslimin. Tidak mungkin seorang Muslim berpegang
kepada kekhalifahannya kecuali jika dia mempercayai bahwa apa yang terjadi di
Saqifah itu benar, dan menganggapnya sebagai satu-satunya jalan untuk bisa
menentukan khalifah kaum Muslimin. Oleh karena pada pembahasan yang lalu kita
telah membuktikan ketidakbenaran konsep musyawarah sebagai alat untuk
mengangkat khalifah kaum Muslimin, maka pada kesempatan ini kita bermaksud
ingin mengemukakan peristiwa Saqifah, yang merupakan penerapan lapangan dari
konsep musyawarah, sehingga kita dapat menyingkap sampai sejauh mana kelurusan
dan kebenaran konsep ini, untuk kemudian kita menyimpulkan apakah akan
berpegang kepadanya atau tidak berpegang kepadanya.
Saqifah Di Dalam Kitab
Tarikh Thabari Thabari menceritakan
peristiwa ini secara rinci di dalam kitab Tarikhnya, jilid 2, terbitan
al-Istiqlal Kairo, tahun 1358 Hijrah, atau bertepatan dengan tahun 1939 Masehi.
Kita akan menukilkannya secara ringkas, sesuai kebutuhan, dari halaman 455 -
460 sebagai berikut:
"Orang-orang Anshar
telah berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Mereka meninggalkan jenezah Rasulullah
saw yang sedang dimandikan oleh keluarganya. Mereka berkata, 'Kami menyerahkan
urusan ini kepada Sa'ad bin 'Ubadah sepeninggal Rasulullah saw. Kemudian mereka
menghadirkan Sa'ad bin 'Ubadah ke tengah-tengah mereka yang ketika itu sedang
sakit. Maka Sa'ad bin 'Ubadah pun mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT,
lalu dia menyebutkan kedahuluan mereka di dalam agama, keutamaan-keutamaan
mereka di dalam Islam, pemuliaan mereka terhadap Rasulullah dan para
sahabatnya, serta jihad mereka di dalam melawan musuh-musuhnya, sehingga bangsa
Arab tegak dan Rasulullah saw meninggal dunia dalam keadaan rida kepada mereka.
Sa'ad bin 'Ubadah berkata, 'Maka gengamlah kuat-kuat urusan ini, jangan sampai
orang lain yang menggenggamnya.' Orang-orang Anshar menjawab, 'Sungguh tepat
pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda. Kami tidak akan melanggar apa
yang Anda perintahkan, dan akan kami angkat Anda sebagai pemimpin. Dan kaum
Muslimin yang saleh tentu akan menyenangi.'
Kemudian mereka saling
bertukar kata di antara mereka. Sebagian di antara mereka berkata, 'Bagaimana
apabila kaum Muhajirin menolak dan berkata, 'Kami adalah kaum Muhajirin dan
sahabat-sahabat Rasulullah saw yang pertama, kami adalah keluarganya dan
wali-walinya, maka kenapa Anda hendak bertengkar dengan kami mengenai
kepemimpinan sesudah Rasulullah saw?' Lalu sebagian mereka yang lain berkata,
'Jika demikian, maka kita akan menjawab, 'Seorang pemimpin dari kami, dan
seorang pemimpin dari kamu. Selain begini, kita sama sekali tidak akan rela.
Kita adalah pemberi perumahan, pelindung dan penolong, sementara mereka yang
melakukan hijrah. Kita berpegang kepada Al-Qur'an sebagaimana mereka. Apa pun
alasan yang mereka ajukan, kita akan mengajukan dalil yang sama. Kita tidak
hendak memonopoli kekuasaan terhadap mereka, maka bagi kita harus ada seorang
pemimpin dan bagi mereka seorang pemimpin.' Maka berkatalah Sa'ad bin 'Ubadah,
'lniah awal kelemahan!'
Abu Bakar dan Umar
mendengar apa yang tengah dilakukan oleh orang-orang Anshar, maka mereka berdua
pun bergegas pergi ke Saqifah dengan ditemani oleh Abu 'Ubaidah bin Jarrah, dan
kemudian bergabung bersama mereka Usaid bin Hudhair, 'Awim bin Sa'idah dan
'Ashim bin 'Adi, dari kalangan Bani 'Ajlan. Kemudian Abu Bakar berbicara,
setelah sebelumnya melarang 'Umar berbicara. Pertama-tama Abu Bakar mengucapkan
puji-pujian kepada Allah SWT, dan kemudian menyebutkan kedahuluan orang-orang
Muhajir di dalam membenarkan Rasulullah saw, sebelum seluruh orang Arab yang
lain. Abu Bakar berkata, 'Mereka adalah orang-orang yang pertama menyembah
Allah SWT di muka bumi dan beriman kepada Rasulullah saw. Mereka itu adalah
keluarganya dan wali-walinya, dan manusia yang paling berhak atas urusan ini
sepeninggalnya, serta tidak ada yang bertengkar dengan mereka di dalam urusan
itu kecuali orang yang zalim.' Kemudian Abu Bakar menyebutkan
keutamaan-keutamaan orang Anshar. Setelah itu dia berkata, 'Setelah orang-orang
Muhajir yang pertama tidak ada orang yang mempunyai kedudukan di sisi kita
selain orang-orang Anshar. Maka oleh karena itu kami adalah pemimpin sedangkan
Anda adalah wazir (pembantu).'
Maka Hubab bin Mundzir
berkata, 'Wahai kaum Anshar, peganglah urusan Anda. Sesungguhnya manusia berada
di bawah naungan Anda, dan tidak akan ada seorang pemberani yang berani
menentang Anda. Oleh karena itu, janganlah Anda berselisih, sehingga akan
merasak pendapat Anda dan menodai urusan Anda. Apabila mereka menolak kecuali
sebagaimana yang telah Anda dengar, maka biarlah dari kita seorang pemimpin dan
dari mereka seorang pemimpin.'
Umar berkata, 'Demi
Allah, dua pedang tidak akan masuk ke dalam satu sarung. Orang Arab tidak akan
menerima kepemimpinan Anda, wahai orang Anshar, karena Nabi bukan berasal dari
Anda. Akan tetapi orang Arab tidak akan keberatan dipimpin oleh kaum yang Nabi
berasal dari mereka. Tentang ini, kami mempunyai bukti yang jelas. Siapa yang
memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan pemerintahannya, padahal kami
adalah wali-walinya dan kaum kerabatnya.'
Hubab bin Mundzir
berdiri dan berkata, 'Wahai kaum Anshar, jangan Anda dengarkan orang-orang ini,
Umar dan sahabat-sahabatnya. Mereka akan mengambil hak Anda dan merampas
kebebasan kalian untuk memilih. Jika mereka tidak setuju, kirim mereka pulang
dan biarkan mereka membentuk pemerintahannya sendiri di sana. Demi Allah, Anda
lebih berhak menjadi pemimpin dari mereka. Karena dengan perantaraan pedang
Anda, orang-orang yang sebelumnya tidak memeluk agama ini menjadi memeluk agama
ini.'
Umar berkata, 'Kalau
begitu, mudah-mudahan Allah SWT membunuhmu.'
Hubab bin Mundzir
berdiri, 'Tidak, justru mudah-mudahan kamu yang dibunuh oleh Allah SWT.'
Abu 'Ubaidah berkata,
'Wahai kaum Anshar, Anda adalah yang pertama membela Islam, maka janganlah Anda
menjadi orang yang pertama memisahkan diri dan berubah.'
Maka berdirilah Basyir
bin Sa'ad al-Khazraji, ayah Nu'man bin Basyir berkata, 'Wahai kaum Anshar, kita
kaum Anshar telah memerangi kaum kafir dan membela Islam bukanlah untuk
kehormatan duniawi, tetapi untuk memperoleh keridaan Allah SWT. Kita tidak
mengejar kedudukan. Nabi Muhammad adalah orang Quraisy, dari kaum Muhajirin,
dan layaklah sudah apabila seorang dari keluarganya menjadi penggantinya. Saya
bersumpah dengan nama Allah, bahwa saya tidak akan melawan mereka. Saya harap
Anda sekalian pun demikian.'
Kemudian Abu Bakar
berdiri dan berkata, 'lni Umar, dan ini Abu 'Ubaidah, silahkan Anda baiat yang
mana saja di antara mereka yang Anda suka.'
Tetapi keduanya berkata,
'Demi Allah, kami tidak akan mau memegang urusan ini selama Anda masih ada.'
Lalu Abdurrahman bin
'Auf berdiri dan berkata, 'Wahai kaum Anshar, meskipun Anda berada di atas
keutamaan, namun tidak ada di tengah Anda orang seperti Abu Bakar, Umar dan
Ali.' Mendengar itu Mundzir bin Arqam berdiri dan berkata, 'Kami tidak menolak
keutamaan orang-orang yang Anda sebutkan, namun di antara mereka ada seseorang
yang jika dia menuntut urusan ini maka tidak ada seorang pun yang
memperselisihkannya, yaitu Ali bin Abi Thalib.'
(Maka orang-orang Anshar
atau sebagian orang Anshar berkata, 'Kami tidak akan membaiat kecuali Ali.')
(Umar berkata, 'Suasana
menjadi hangat dan suara-suara menjadi keras, dan untuk menghindari perpecahan
saya berkata, 'Bentangkan tangan Anda, wahai Abu Bakar, supaya aku membaitmu!')
Manakala keduanya bangkit hendak membait Abu Bakar, Basyir bin Sa'ad mendahului
keduanya membait Abu Bakar.
Hubab bin Mundzir
berteriak kepada Basyir bin Sa'ad, 'Wahai Basyir bin Sa'ad! Hai orang durhaka,
orang tuamu sendiri tidak menyukaimu. Engkau telah menyangkal ikatan keluarga,
engkau dengki dan tidak mau melihat saudara sepupumu menjadi pemimpin.'
Basyir bin Sa'ad
berkata, 'Tidak, demi Allah, aku tidak mau berselisih dengan satu kaum tentang
suatu hak yang telah Allah SWT jadikan untuk mereka.' Manakala kaum Aus melihat
apa yang telah dilakukan Basyir bin Sa'ad, apa yang diseru oleh kaum Quraisy
dan apa yang diminta oleh kaum Khazraj untuk menjadikan Sa'ad bin 'Ubadah
sebagai pemimpin, sebagian mereka berkata kepada sebagian mereka yang lain, di
antaranya adalah Usaid bin Hudhair, 'Demi Allah, bila kaum Khazraj sekali
berkuasa atas dirimu, mereka akan seterasnya mempertahankan keunggulannya atas diri
kamu, dan tidak akan pernah membagi kekuasaan itu kepadamu untuk
selama-lama-nya; maka berdirilah, dan baiatlah Abu Bakar.'
Maka mereka pun berdiri
dan membaiatnya. Dan hancurlah kesepakatan yang telah mereka peroleh atas Sa'ad
bin 'Ubadah dan kaum Khazraj. Orang-orang berdatangan dari semua sudut untuk
membaiat Abu Bakar, hingga hampir saja mereka menginjak Sa'ad bin 'Ubadah.
Para sahabat Sa'ad bin
'Ubadah berkata, 'Hati-hati, jangan sampai menginjak Sa'ad.'
Pada saat itu Umar
berkata, 'Bunuh dia, mudah-mudahan Allah membunuhnya.'
Kemudian Umar
mendekatinya seraya berkata, 'Saya ingin menginjak-injak engkau sampai remuk.'
Putra Sa'ad bin 'Ubadah,
Qais, menjambak janggut Umar dan berkata kepadanya, 'Bila engkau menyentuh
sehelai saja rambutnya, aku akan rontokkan semua gigimu!'
Abu Bakar berteriak,
'Tenang Umar! Dalam keadaan seperti ini kita harus tenang.'
Maka Umar pun pergi
meninggalkan Sa'ad, tetapi Sa'ad berteriak, 'Demi Allah, seandainya aku dapat
berdiri, aku akan membuat huru hara di kota Madinah, agar engkau dan
teman-temanmu bersembunyi ketakutan. Kemudian aku akan menjadikanmu pelayan,
bukan penguasa. Bawa aku dari tempat ini.' Maka mereka pun membawa Sa'ad bin
'Ubadah dan memasukkannya ke dalam rumahnya..."
Kejadian ini tidak
memerlukan penjelasan dan komentar lagi, dia sendiri dapat menyingkap bagaimana
proses terjadinya pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifab... Sungguh proses
tersebut jauh sekali dari proses musyawarah. Musyawarah tidak layak dilakukan
di tempat yang tidak tepat ini, di mana Saqifah Bani Sa'idah terletak di sebuah
ladang di luar kota Madinah. Tentunya Mesjid Rasulullah saw lebih utama untuk
dijadikan tempat melakukan hal ini. Karena Mesjid Rasulullah saw adalah tempat
berkumpulnya kaum Muslimin dan tempat dilakukannya musyawarah untuk membahas
urusan-urusan dunia dan urusan-urusan agama. Di samping juga waktunya tidak
sesuai, karena jenazah Rasulullah saw masih terbujur dan belum di-makamkan.
Bagaimana bisa mereka meninggalkan jenazah Rasulullah saw dalam keadaan seperti
ini, untuk memperebutkan urusan kekhalifahan, sementara sahabat-sahabat besar
sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah saw.
Apakah ada seorang yang
berakal yang menamakan peristiwa ini sebagai musyawarah?!
Pada kenyataannya mereka
tidak sedang mencari kekhilafahan Islam yang mendapat petunjuk, yang dengan
perantaraannya akan terjaga persatuan dan eksistensi kaum Muslimin. Kata-kata
yang mereka ucapkan memberi petunjuk kepada hal ini.
Kata-kata Sa'ad yang
berbunyi, "Maka genggamlah kuat-kuat urusan ini, jangan sampai orang lain
yang menggenggamnya", lalu orang-orang Anshar menjawab, "Sungguh
tepat pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda. Kami tidak akan
melanggar apa yang Anda perintahkan", dan begitu juga kata-kata Umar yang
berbunyi, "Siapa yang memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan
pemerintahannya?"
Seluruh kata-kata ini
menyingkap jati diri mereka. Mereka tidak menginginkan apa-apa kecuali
kekuasaan.
Di samping kata-kata
kasar yang terjadi di antara para sahabat, padahal Rasulullah saw telah
bersusah payah mendidik mereka selama dua puluh tiga tahun. Misalnya perkataan
Umar terhadap Hubab, "Mudah-mudahan Allah membunuhmu", dan begitu
juga perkataan Hubab terhadap Umar, "Tidak, justru mudah-mudahan engkau
yang dibunuh oleh Allah." Atau perkataan Umar kepada Sa'ad bin Ubadah,
"Bunuhlah dia, mudah-mudahan Allah membunuhnya." Atau perkataan Umar
yang lain kepada Sa'ad, "Saya akan menginjak-injak engkau hingga
remuk." Atau perkataan Qais bin Sa'ad kepada Umar sambil menjambak janggutnya,
"Demi Allah, apabila engkau sentuh satu helai saja dari rambutnya, aku
akan rontokkan semua gigimu." Semua ini memberikan gambaran yang jelas
bagi Anda.
Kata-kata keji yang
seperti ini yang dilontarkan di tempat pemilihan yang sangat sensitif ini,
hingga sampai tahap ancaman, pemukulan dan ajakkan untuk membunuh, semua ini
menunjukkan betapa orang-orang yang berkumpul tersebut dipenuhi dengan rasa
kedengkian dan permusuhan terhadap satu sama lain. Bagaimana mungkin kita bisa
menerima musyawarah dari orang-orang seperti mereka —itu pun apabila musyawarah
itu sah.
Kemudian, lihatlah
kata-kata dan argumentasi yang mereka lontarkan terhadap satu sama lain, semua
itu adalah argumentasi yang kosong dan jauh dari kebenaran. Sebagai contoh
—misalnya— argumentasi Umar, yang merupakan argumentasi yang paling kuat,
"Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda, wahai orang Anshar,
karena Nabi bukan berasal dari Anda. Akan tetapi orang Arab akan menerima
dipimpin apabila oleh kaum yang Nabi berasal dari mereka."
Jika orang Arab tidak
menerima kepemimpinan orang yang jauh dari Rasulullah saw, maka tentu mereka
akan menerima kepemimpinan orang yang paling dekat hubungannya dengan
Rasulullah saw, yaitu Ali bin Abi Thalib as. Oleh karena itu, Amirul Mukminin
as berhujjah, "Mereka berhujjah dengan pohan kenabian namun mereka
meninggalkan buahnya."[1]
Jika orang Arab tidak
menerima kepemimpinan Ali as, maka tentu mereka lebih tidak menerima lagi
kepemimpinan seorang laki-laki yang berasal dari kabilah Tim. Jika ini yang
menjadi hujjah mereka, maka tentu hal ini akan menjadi hujjah yang kuat bagi
Ali as.
Abu Bakar al-Jawahiri
berkata tentang argumentasi Ali as, "Ali berkata, 'Saya adalah hamba Allah
dan saudara Rasulullah.' Berita itu sampai kepada Abu Bakar. Lalu Abu Bakar
berkata kepada Ali, 'Berbaiatlah.' Ali as menjawab, 'Aku lebih berhak dari Anda
atas kepemimpinan ini. Aku tidak akan berbaiat kepada Anda, justru Anda yang
lebih layak berbaiat kepadaku. Anda telah merebut kepemimpinan ini dari kaum
Anshar dengan berhujjah kepada mereka dengan kekerabatan Anda dengan
Rasulullah, maka mereka pun menyerahkan kepemimpinan kepada Anda. Dan sekarang
saya mengajukan hujjah yang sama dengan hujjah yang Anda ajukan kepada
orang-orang Anshar. Maka bersikap adillah kepada kami, jika Anda memang
mengkhawatirkan Allah atas diri Anda. Dan berikanlah pengakuan yang serupa
kepada kami sebagaimana yang telah diberikan oleh kaum Anshar kepada Anda. Jika
tidak, maka berarti Anda telah berlaku zalim dan Anda mengetahuinya.'
Umar berkata kepada Ali,
'Anda tidak akan dibiarkan hingga Anda berbaiat.'
Ali menjawab, 'Anda
sedang memerah susu untuk Abu Bakar dan diri Anda sendiri. Anda bekerja
untuknya hari ini, dan besok dia akan mengangkat Anda menjadi penggantinya.
Demi Allah, saya tidak akan menerima kata-kata Anda, dan tidak akan mengikuti
Anda.'"[2]
Mereka berusaha dengan
berbagai cara untuk mendapatkan baiat dari Ali, bahkan dengan cara kekerasan
sekali pun.
Umar berkata, "Kita
mendapat kabar bahwa Ali dan Zubair serta orang-orang yang bersamanya
memisahkan diri dari kita dan berkumpul di rumah Fatimah."[3]
Kemudian Umar datang
beserta rombongannya dengan membawa kayu bakar dan bermaksud membakar rumah
Fatimah. Maka Fatimah datang menemui mereka dan berkata, "Apakah Anda
datang dengan maksud hendak membakar rumah kami, wahai Putra Khattab?"
Umar menjawab, "Ya,
atau Anda semua melakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh umat."[4]
Dalam kitab Ansab
al-Asyraf disebutkan,
"Fatimah menemui
Umar di pintu dan berkata kepadanya,
'Wahai Putra Khattab,
apakah Anda akan tetap membakar rumah sementara aku berada di belakang
pintunya?'
Para sejarahwan mencatat
orang-orang yang datang menyerbu untuk membakar rumah Fatimah:
1. Umar bin Khattab.
2. Khalid bin Walid.
3. Abdurrahman bin 'Auf.
4. Tsabit bin Qais bin
Syammas.
5. Ziyad bin Labid.
6. Muhammad bin Muslim.
7. Zaid bin Tsabit.
8. Salmah bin Salamah
bin Waghasy.
9. Salmah bin Aslam.
10. Usaid bin Hudhair.
Ya'qubi berkata,
"Mereka datang berkelompok menyerang rumah, hingga pedang Ali patah dan
mereka masuk ke dalam rumah."[6]
Thabari berkata,
"Umar memasuki rumah Ali, sementara di dalam rumah ada Zubair, Thalhah dan
beberapa orang dari kaum Muhajir. Kemudian Zubair keluar dengan pedang
terhunus, namun dia tergelincir dan pedangnya lepas dari tangannya. Maka mereka
pun menangkap dan membawanya."[7]
Fatimah melihat apa yang
dilakukan Umar terhadap keduanya – Ali dan Zubair— maka dia berdiri di samping
pintu kamar dan berkata, "Hai Abu Bakar, alangkah cepatnya Anda menyerang
keluarga Rasulullah. Demi Allah, saya tidak akan berbicara dengan Umar sampai
saya menemui Allah."[8]
Karena peristiwa ini dan
juga karena peristiwa penahanan warisan yang diterimanya dari Rasulullah saw
serta peristiwa-peristiwa lainnya, Fatimah marah kepada Abu Bakar, dan tidak
mau berbicara dengannya hingga meninggal dunia. Fatimah az-Zahra hidup selama
enam bulan sepeninggal Rasulullah saw. Ketika Fatimah az-Zahra wafat,
jenazahnya dikuburkan oleh suaminya pada malam hari, dan tidak diizinkan Abu
Bakar untuk melihat jenazahnya.[9]
Pada sebuah riwayat
disebutkan bahwa Fatimah az-Zahra berkata kepada Abu Bakar, "Demi Allah,
saya akan mendoakan keburukan bagimu pada setiap salat yang saya
kerjakan."[10]
Oleh karena itu, Abu
Bakar berkata pada saat hendak meninggal dunia, "Tidak ada satu pun yang
saya sesali dari dunia ini kecuali tiga hal yang telah saya lakukan. Saya
sangat berharap tidak melakukannya." (Hingga dia mengatakan), "Adapun
ketiga hal yang telah saya lakukan itu: Saya sangat berharap tidak membuka
paksa rumah Fatimah, meski pun mereka menguncinya untuk melakukan
peperangan."[11]
Di dalam Tarikh Ya'qubi
disebutkan, "Oh, seandainya saya tidak membuka paksa rumah Fatimah dan
memasukkan orang-orang ke dalamnya meski pun mereka menguncinya untuk melakukan
peperangan."[12]
Seorang penyair Mesir,
Hafidz Ibrahim, menulis di dalam syairnya,
"Kepada
Ali, Umar berkata, 'Rumahmu akan kubakar!
Bila
engkau tidak berbaiat kepada Abu Bakar'
Meski
pun Fatimah putri Musthafa ada di dalam
Abu
Hafshah tidak segan melawan Ali, pahlawan Adnan."
Tidak hanya sampai di
situ, bahkan mereka mengancam akan membunuh Ali. Mereka menyeret Ali dengan
paksa keluar dari rumahnya, dan membawanya ke hadapan Abu Bakar. Mereka
berkata, "Berbaiatlah." Ali berkata, "Kalau aku tidak mau,
bagaimana?"
Mereka menjawab,
"Kalau demikian, demi Allah, kami akan penggal kepalamu." Ali
menjawab, "Kalau begitu, kamu akan memenggal kepala hamba Allah dan
saudara Rasulullah?"[13]
Kekhalifahan yang
dimulai dengan pemaksaan dan diakhiri dengan ancaman pembunuhan tidak dapat
menjadi bukti bagi konsep musyawarah.
Ketika Abu Bakar dan
Umar menyadari keburukan yang telah dilakukannya, mereka datang untuk meminta
maaf kepada Fatimah. Namun kesempatan telah terlambat.
Fatimah berkata kepada
mereka, "Apakah Anda mau mendengar apabila aku katakan kepada Anda suatu
perkataan yang berasal dari Rasulullah saw, yang Anda kenal dan Anda telah
berjuang untuk beliau?"
Mereka berdua menjawab,
"Ya."
Kemudian Fatimah
berkata, "Apakah Anda tidak mendengar Rasulullah saw telah bersabda,
'Keridaan Fatimah adalah keridaanku, dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku.
Barangsiapa yang mencintai Fatimah, Puteriku, maka berarti dia telah
mencintaiku, dan barangsiapa yang membuat Fatimah marah, maka berarti dia telah
membuatku marah?"
Mereka berdua menjawab,
"Ya, kami telah mendengarnya dari Rasulullah saw."
Kemudian Fatimah
berkata, "Saya bersaksi kepada Allah para malaikat-Nya, sesungguhnya Anda
berdua telah membuat saya marah dan Anda berdua telah membuat saya tidak rida.
Seandainya kelak saya bertemu dengan Nabi saw, saya akan adukan Anda berdua kepada
beliau."
Selanjutnya Fatimah
berkata kepada Abu Bakar, "... Demi Allah, saya akan mendoakan keburukan
bagimu pada setiap salat yang saya kerjakan."[14]
Demikianlah, Abu Bakar
tidak berhak atas kekhalifahan kaum Muslimin melalui syura. Karena musyawarah
tersebut tidak sah secara teoritis, dan tidak ada wujudnya dalam tataran
kenyataan. Jika kita tetap mengakui bahwa Abu Bakar telah memperoleh
kekhalifahan kaum Muslimin melalui syura, dan itu merupakan satu-satunya cara
untuk itu, maka yang perlu kita tanyakan ialah, atas hak apa Abu Bakar
mengangkat Umar menjadi khalifah sepeninggalnya?
Oleh karena itu, Abu
Bakar dan kekhalifahannya menghadapi dua masalah:
Pertama, musyawarah
sebagai jalan yang Allah SWT tetapkan untuk mengangkat seorang khalifah. Maka
di sini berarti Abu Bakar telah membangkang perintah Allah SWT dengan
mengangkat Umar sebagai khalifah penggantinya, tanpa proses musyawarah.
Kedua, musyawarah bukan
merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka dengan demikian
kekhalifahan Abu Bakar tidak sah, karena muncul melalui musyawarah yang tidak
diperintahkan oleh Allah SWT.
Demikian juga
kekhalifahan Umar dan Usman tidak sah, kecuali kekhalifahan Ali as. Seluruh
umat sepakat untuk membaiat Ali setelah Usman terbunuh, di samping nas-nas dari
Allah dan Rasul-Nya yang menunjukkan kepada kekhalifahan dan keimamahannya.
Jika di sana terdapat musyawarah maka kekhalifahan untuk Ali, dan begitu juga
jika ditetapkan berdasarkan pengangkatan maka kekhalifahan tetap untuk Ali.
Sebagaimana yang diceritakan secara mutawatir oleh riwayat-riwayat.
Untuk menyempurnakan
pembahasan, marilah kita akhiri pembahasan ini dengan dialog berikut:
Ali bin Maitsam ditanya,
"Kenapa Ali duduk berdiam diri tidak memerangi mereka?"
Ali bin Maitsam
menjawab, "Sebagaimana duduk berdiam dirinya Harun terhadap Samiri,
padahal mereka telah menyembah patung anak sapi. Seperti Harun ketika
mengatakan, '(Harun berkata), 'Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah
menganggapku lemah.' (QS. al-A'raf: 150) Seperti Nuh tatkala berkata, 'Aku ini
orang yang dikalahkan, oleh karena itu menangkanlah (aku).'(QS. al-Qamar: 10)
Seperti Luth tatkala mengatakan, 'Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk
menolakmu) atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku
lakukan).' (QS. Hud: 80) Dan seperti Musa dan Harun tatkala mengatakan, 'Ya
Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku.'" (QS.
al-Maidah: 25)]
Makna ini dapat kita
ambil dari perkataan Amirul Mukminin as manakala sampai berita kepadanya bahwa
dia tidak memerangi dua orang yang pertama. Imam Ali as berkata, "Saya
mempunyai suri teladan dari enam nabi. Yang pertama ialah Ibrahim al-Khalil as,
tatkala dia mengatakan, 'Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang
kamu seru selain Allah.' (QS. Maryam: 48)
Jika Anda mengatakan,
'Dia menjauhkan diri dari mereka dengan tanpa ada sesuatu yang tidak disukai',
maka Anda telah kafir.
Jika Anda mengatakan,
'Dia menjauhkan diri dari mereka disebabkan dia melihat sesuatu yang tidak
disukai', maka washi dimaafkan.
Yang berikutnya adalah
Luth as, tatkala dia mengatakan, 'Seandainya aku ada mempunyai kekuatan untuk
menolakmu atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku
lakukan).' (QS. Hud: 80)
Jika Anda mengatakan,
'Sesungguhnya Luth mempunyai kekuatan untuk menolak mereka', maka Anda telah
kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya dia tidak mempunyai kekuatan
untuk menolak mereka', maka washi dimaafkan.
Yang berikutnya adalah
Yusuf as tatkala dia mengatakan, 'Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari
pada memenuhi ajakan mereka kepadaku.' (QS. Yusuf: 33)
Jika Anda mengatakan,
'Nabi Yusuf meminta penjara dengan tanpa adanya sesuatu yang tidak disukai yang
dibenci oleh Allah SWT', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan,
'Sesungguhnya dia diajak kepada sesuatu yang dimurkai Allah', maka washi dimaafkan.
Yang berikutnya adalah
Musa as, tatkala dia mengatakan, 'Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku
takut kepadamu.' (QS. asy-Syu'ara: 21)
Jika anda mengatakan,
'Sesungguhnya Nabi Musa as lari dengan tanpa ada sesuatu yang ditakutkan', maka
Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya dia lari meninggalkan
mereka disebabkan mereka ingin berbuat jahat kepadanya', maka washi dimaafkan.
Yang berikutnya adalah
Harun, tatkala dia berkata kepada saudaranya, 'Hai anak ibuku, sesungguhnya
kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku.' (QS.
Al-A'raf: 150)
Jika Anda mengatakan,
'Mereka tidak menganggap Harun as lemah dan tidak hampir membunuhnya', berarti
Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Mereka telah menganggap Harun as
lemah dan hampir membunuhnya, dan oleh karena itu dia mendiamkan mereka', maka
washi dimaafkan.
Selanjutnya adalah
Muhammad saw tatkala dia lari ke gua dan meninggalkan saya di ranjangnya, dan
saya mempersembahkan nyawa saya kepada Allah.
Jika Anda mengatakan,
'Muhammad telah lari dengan tanpa adanya sesuatu yang mengancamnya dari pihak
mereka', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Mereka telah
mengancamnya, dan tidak ada jalan lain baginya kecuali lari ke gua', maka washi
dimaafkan."
Lalu orang-orang
berkata, "Anda benar, wahai Amirul Mukminin."[15]
Para Sahabat Dan Ayat Inqilâb
"Muhammad itu tidak
lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul. Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
madharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran: 144)
Sesungguhnya titik berat
ayat yang mulia ini berbicara tentang wafatnya Rasulullah saw dan peristiwa
pembelotan yang terjadi sesudahnya. Titik berat pembicaraan ayat ini terkumpul
di dalam tiga ungkapan, yaitu ungkapan "Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul", "Apakah jika dia wafat atau dibunuh", dan
"Kamu akan berbalik ke belakang?" Untuk mendalami ayat ini dan
membahasnya secara rinci, mau tidak mau kita harus melontarkan beberapa pertanyaan
yang tajam, untuk menggali pemikiran dan berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Mengapa Allah SWT tidak
cukup hanya dengan mengatakan "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
rasul", melainkan melanjutkannya secara langsung dengan kata-kata
"Apakahjika dia wafat atau dibunuh", padahal konteks ayat di atas
berdiri tegak dengan ungkapan pertama?
Apa perbedaan antara
mati dan terbunuh? Huruf "aw" athaf (atau) memberikan arti pemisahan
antara ma'thuf dengan ma'thuf 'alaih, lantas apa perbedaan di antara keduanya?
Mengapa pengulangan ini muncul dari Allah SWT, padahal Dia mengetahui bahwa
Rasulullah akan mati? Siapa orang yang disinggung di dalam firman-Nya
"Jika kamu berbalik ke belakang"! Dari apa mereka berbalik ke
belakang? Dan apa hubungannya antara pembelotan (berbalik ke belakang) dengan
wafatnya Rasulullah saw?
Konteks ayat ini
berbicara tentang sikap istiqamah, lantas kenapa ayat ini menggunakan kata-kata
"Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang
bersyukur", dan tidak mengatakan "Dan Allah akan memberikan balasan
kepada orang-orang yang istiqamah, orang-orang Muslim, atau orang-orang
Mukmin?"
Sebelum kita menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, mau tidak mau kita harus menyebutkan dua mukaddimah
berikut:
Pertama, tentang sebab-sebab
turunnya ayat ini. Para mufassir menyebutkan bahwa yang menjadi sebab turunnya
ayat ini ialah kekalahan yang diderita oleh kaum Muslimin setelah peperangan
Uhud, di mana kaum musyrikin menyebarkan berita bahwa Rasulullah saw telah
terbunuh di dalam peperangan. Berita ini telah menciptakan kerapuhan,
kemunduran dan keraguan pada sebagian kaum Muslimin. Maka Allah SWT menurunkan
ayat ini sebagai teguran terhadap kaum Muslimin atas yang demikian.
Kedua, mana yang pokok
di dalam ayat-ayat Al-Qur'an? Apakah yang pokok ialah bahwa ayat-ayat Al-Qur'an
cocok untuk seluruh jaman, kecuali yang dikecualikan oleh suatu dalil? Atau,
apakah justru sebaliknya?
Maksudnya ialah, jika
ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, maka kita dapat mengumumkan
makna ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain dari jaman yang menjadi
sebab-sebab turunnya ayat. Jika tidak, maka berarti kita terikat dengan
sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat di atas, dan penggenaralisiran
ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain dari jamannya itulah yang
memerlukan alasan.
Para ulama Islam, baik
dari kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah sepakat bahwa pengambilan pelajaran
berdasarkan keumuman lafaz, bukan berdasarkan kekhususan sebab. Jika yang
menjadi pokok ialah tidak berlakunya ayat-ayat Al-Qur'an pada setiap jaman,
niscaya akan batallah pelaksanaan Al-Qur'an pada jaman-jaman berikut, atau kita
akan meninggalkan sebagian besar ayat Al-Qur'an di dalam kebekuan dan
ketidak-sesuaian dengan jaman. Hal ini jelas tidak sejalan dengan ruh Islam,
dan juga tidak sejalan dengan ajaran-ajarannya serta keumumannya. Ini adalah
dalil akal. Dan sebagian besar ayat Al-Qur'an mendukung dalil ini, dimana
ayat-ayat tersebut mendorong manusia untuk mau bertadabbur dan mengamalkan
Al-Qur'an, serta mengecam perbuatan sebaliknya.
Jika kita membenarkan
pendapat yang kedua, niscaya tidak akan ada artinya firman Allah SWT yang
berbunyi, "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik,
dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." Karena, ayat
ini mengisyaratkan kepada seluruh Al-Qur'an, dan tidak mengkhususkan kepada
sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an, melainkan kita harus berusaha untuk bisa
memahami seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, memperhatikannya dan memetik pelajaran darinya.
Hal ini sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita untuk mentadabburinya,
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka
terkunci?"
Al-Qur'an al-Karim
mengecam orang yang mengimani sebagian Al-Qur'an dan tidak mengimani sebagian
lainnya, "(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu
terbagi-bagi.
"(Yaitu)
orang-orang beriman kepada sebagian al-Kitab (Al-Qur'an) dan kafir kepada
sebagian yang lain."
Allah SWT berfirman,
"Dan sesungguhnya
Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam
perumpamaan." (QS. al-Kahfi: 54)
"Dan sesungguhnya
telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil
pelajaran?" (QS. al-Qamar: 17)
"Kitab yang
dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui. " (QS. Fushshilat: 3)
"Sesungguhnya Kami
menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya." (QS.
az-Zukhruf: 3)
Ayat-ayat ini mendorong
kita untuk berpegang kepada Al-Qur'an seluruhnya, tidak sebagiannya.
Alhasil, jika kita
berpegang kepada pendapat yang kedua, maka tidak ada seorang pun dari kaum
Muslimin yang menerimanya. Kalau pun seandainya kita berpegang kepada pendapat
yang kedua, sesungguhnya ayat yang sedang menjadi pembahasan kita mempunyai
dalil-dalil yang membuktikan bahwa dia tidak hanya khusus bagi jaman pada saat
dia turun, melainkan dia terus berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan
bahkan sesudahnya. Adapun dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya berita yang
tersebar pada saat peperangan Uhud ialah berita terbunuhnya Rasulullah saw. Dan
ayat ini berbicara tentang kejadian wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika
dia wafat atau dibunuh... " Seandainya ayat ini hanya dikhususkan bagi
jaman pada saat dia diturunkan, maka tentu Allah SWT akan berkata, "Apakah
jika dia dibunuh ". Sepertinya, penyebutan kata "wafat" adalah
untuk menunjukkan bahwa perbuatan berbalik ke belakang yang terjadi pada
peperangan Uhud juga akan terjadi pada saat setelah kematian Rasulullah saw.
Faidah praktis dari
mukaddimah ini dalam pembahasan kita ialah, kita tidak dibebani kewajiban untuk
mengemukakan sebuah dalil yang mengumumkan ayat inqilab ini kepada kejadian
yang bukan merupakan sebab turunnya ayat ini, jika pendapat pertama yang benar,
dan ini adalah pendapat yang benar —sebagaimana yang Anda saksikan. Adapun
berdasarkan pendapat yang kedua, mau tidak mau harus ada sebuah dalil khusus
untuk membuktikan bahwa ayat ini tidak hanya dikhususkan bagi kejadian tempat
dia diturunkan, melainkan berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan
bahkan jaman sepeninggal beliau. Seandainya pendapat yang kedua itu yang benar,
maka dalil yang menunjukkan berlakunya ayat ini sepanjang kehidupan Rasulullah
saw dan bahkan jaman sepeninggal beliau, terdapat di dalam ayat itu sendiri. Di
mana, dan bagaimana?
Adapun pertanyaan
"di mana", maka jawabannya ialah di dalam firman Allah SWT yang
berbunyi "Apakah jika dia wafat atau dibunuh..." Sedangkan pertanyaan
"bagaimana", maka jawabannya ialah bahwa berita yang tersebar luas di
sekitar dan di dalam kota Madinah pada saat terjadi peperangan Uhud ialah
berita terbunuhnya Rasulullah saw, yang menyebabkan sebagian dari para sahabat murtad
dan berbalik ke belakang. Jika Allah SWT hendak mengkhususkan ayat ini hanya
bagi peperangan Uhud, niscaya Allah SWT akan mengatakan, "Apakah jika dia
terbunuh..." Namun penyebutan kata "wafat" oleh Allah SWT di
dalam ayat, "Apakah jika dia wafat atau terbunuh...", memberikan
pengertian yang pasti bahwa keadaan yang sama benar-benar akan terulang pada
saat Rasulullah saw meninggal dunia.
Insya Allah, akan datang
penjelasan lebih rinci kepada Anda yang menguatkan bahwa ayat ini tidak hanya
terbatas kepada peristiwa perang Uhud, melainkan juga mencakup jaman hingga
meninggalnya Rasulullah saw, dan bahkan jaman sesudahnya.
Ketahuilah, sesungguhnya
mati mempunyai dua arti: Mati dalam arti umum, yaitu peristiwa dicabutnya ruh,
"Di mana saja kamu
berada, kematian akan mendatangi kamu, meski pun kamu berada di dalam benteng
yang tinggi lagi kokoh." (QS. an-Nisa: 78)
"Dan Dialah Allah
yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan
kamu (lagi)." (QS. al-Hajj: 66)
Juga terdapat mati dalam
arti khusus, sebagai lawan dari terbunuh. Yaitu orang yang mati disebabkan
telah rusaknya bangunan kehidupannya. Dan ayat mana saja yang menyebutkan kedua
kata tersebut secara bersamaan, yaitu kata mati dan terbunuh, maka yang
dimaksud dengan mati adalah mati dalam arti khusus. Pengertian ini lebih
bertambah kuat lagi manakala digunakan kata aw (atau), yang memberikan arti
pemisahan di antara ma'thuf dan ma'thuf 'alaih. Contohnya ialah firman Allah
SWT yang berbunyi,
"Dan sungguh kalau
kamu terbunuh di jalan Allah atau meninggal dunia, tentulah ampunan Allah dan
rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan."
(QS. Ali Imran: 157)
"Dan sungguh jika
kamu meninggal dunia atau terbunuh, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan."
(QS. Ali Imran: 158)
"Kalau mereka tetap
bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." (QS. Ali
Imran: 156)
Karena, jika kata
"mati" di dalam ayat-ayat ini bermakna umum maka tentu tidak
diperbolehkan menggunakan kata "terbunuh", karena sudah tercakup di
dalamnya. Dan jika hal itu dilakukan, maka ini berarti bertentangan dengan
kefasihan bahasa. Dari sini kita dapat membuktikan bahwa yang dimaksud dengan
mati di dalam ayat Inqilâb ialah mati dalam arti khusus, yang merupakan lawan dari
kata terbunuh.
Kenapa Allah SWT
menekankan kepada sifat kerasulan pada diri Rasul-Nya, dengan mengatakan bahwa
dia adalah seorang rasul, sebagaimana telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul. Untuk tujuan itu sebenarnya Allah SWT cukup dengan hanya mengatakan,
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", namun kenapa Allah
SWT melanjutkannya secara langsung dengan mengatakan, "Apabila dia wafat
atau dia dibunuh"?
Yang terbayang pertama
kali di dalam menjawab pertanyaan ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh
sebagian para mufassir, yaitu bahwa Allah SWT hendak menarik perhatian kaum
Muslimin kepada sebuah hakikat, bahwasannya Nabi Muhammad saw itu tidak kekal.
Dia itu akan mati dan berlalu. Keadaannya persis sebagaimana rasul-rasul yang
lain yang telah mati dan berlalu. Makna ini adalah makna yang tampak, namun
bukan satu-satunya makna. Karena kalau sekiranya maksud Allah SWT hanya sebatas
hendak menetapkan sifat kematian bagi Rasulullah saw, maka tentunya Allah SWT
akan mengatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang manusia,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang manusia." Untuk menekankan
kepada kefanaan dan ketidak-langgengan yang sudah merupakan tabiat manusia.
Juga terdapat beberapa arti yang lebih luas dan lebih dalam dari arti ini, yang
menuntut dikemukakannya dan ditekankannya sifat kerasulan. Yaitu,
Pertama, sebagaimana
keberadaan agama tidak digantungkan kepada kehidupan rasul-rasul yang lalu,
maka demikian juga keberadaan agama ini tidak digantungkan kepada kehidupan Rasulullah
saw. Sebagaimana para nabi terdahulu meninggal dunia dan agama tetap
berlangsung sepeninggal mereka, maka demikian pula manakala Rasulullah saw
meninggal dunia atau terbunuh, agama akan tetap berlangsung sepeninggalnya.
Kedua, ini merupakan
arti yang paling dalam dan paling mencakup, yaitu penekanan terhadap hakikat
kesesuaiaan sunah-sunah di antara umat sepeninggal rasul-rasulnya. Maka apa
yang telah terjadi atas umat-umat tersebut, akan terjadi pula atas umat ini.
Al-Qur'an, sunah Rasulullah saw dan kenyataan menguatkan hakikat ini. Adapun
Al-Qur'an al-Karim mengatakan,
"Rasul-rasul itu
Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka
ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah
meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam
beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan ruhul qudus. Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang)
sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam
keterangan, akn tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang
beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah
menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa
yang dikehendaki-Nya." (QS. al-Baqarah: 253)
Dhamir (kata ganti) hum
kembali kepada kata ar-rusul (rasul-rasul). Jika yang dikehendaki oleh Allah
SWT hanyalah Isa as maka tentu Allah SWT akan menggunakan ungkapan "min
ba'dih" (sesudahnya). Juga tidak bisa dikatakan bahwa yang dikehendaki
oleh Allah dengan dhamir "hum" (mereka) adalah Isa as, sebagai
penghormatan. Karena kedudukan dhamir "hum" pada kata "min
ba'dihim" (sesudah mereka) dengan maksud sebagai pengagungan, itu
bertentangan dengan kefasihan. Adapun berkenaan dengan orang yang mengatakan
bahwa dhamir "hum" hanya merupakan makna majazi (kiasan), maka kita
katakan, sesungguhnya jika terjadi keraguan apakah suatu lafaz itu digunakan
dalam arti majazi (kiasan) atau hakiki (arti sebenarnya) maka kita berpegang
kepada arti hakiki. Pada penggunaan dhamir hum dalam arti hakiki maka dhamir
hum kembali kepada "rasul-rasul itu", yang salah satu di antaranya
adalah Rasulullah saw, berdasarkan petunjuk ayat sebelumnya yang berbunyi,
"Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan benar, dan
sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang
diutus." Kemudian Allah SWT melanjutkan, "Rasul-rasul itu Kami
lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain."
Kemudian, sesungguhnya
perihal kesesuaian sunah-sunah juga ditunjukan oleh banyak riwayat yang masyhur
dan sahih, yang disepakati oleh kaum Muslimin. Seperti sabda Rasulullah saw
yang berbunyi, "Niscaya kamu akan mengikuti sunah-sunah orang sebelummu.
Bulu anak panah dengan bulu anak panah, dan sandal dengan sandal. Bahkan jika
mereka memasuki lubang biawak, niscaya kamu pun akan memasukinya." Dalam
sebuah hadis yang lain Rasulullah saw bersabda, "Janganlah sepeninggalku
engkau kembali menjadi orang-orang kafir, yang sebagianmu memenggal sebagian leher
yang lain." Rasulullah saw juga telah bersabda, "Orang-orang Yahudi
telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, sementara orang-orang
Kristen telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akn
berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan
darinya berada di dalam neraka, dan hanya satu golongan yang selamat."
Bahkan, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kepada fenomena ini.
Seperti firman Allah SWT yang berbunyi,
"Mereka tidak menunggu-nunggu
kecuali kejadian-kejadian yang sama dengan kejadian-kejadian yang menimpa
orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka." (QS. Yunus: 102)
"Manusia itu adalah
umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi,
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, danAllah menurunkan
bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab
itu melainkan orang yang telah didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya."
(QS. al-Baqarah: 213)
"Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang
mereka tidak diuji lagi?" (QS. al-Ankabut: 2)
Sesunggunya dalil
terbesar yang menunjukkan kepada kesesuaian di antara sunah-sunah umat
terdahulu dan umat kemudian ialah kenyataan yang terjadi pada para sahabat
sepeninggal Rasulullah saw, yaitu di mana sebagian mereka mengkafirkan sebagian
mereka yang lain, dan masing-masing dari mereka memfasikkan yang lainnya,
hingga berakhir dengan terjadinya peperangan yang dahsyat di antara mereka,
yang menelan korban lebih dari seratus ribu kaum Muslimin. Inilah ekstensi dari
ayat yang berbunyi, "Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah
berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu." (QS.
al-Baqarah: 253)
Setelah ini, tidak bisa
seseorang mengatakan, bagaimana mungkin para sahabat berbalik ke belakang
padahal merekalah yang telah mengorbankan harta dan diri mereka, dan telah
memerangi keluarga mereka serta telah berdiri tegar di sisi Rasulullah saw
dalam keadaan susah dan lapar, serta mereka telah melihat ayat-ayat dan
mukjizat-mukjizatnya!! Karena di samping alasan-alasan yang telah disebutkan di
atas, keragu-raguan ini dapat dijawab dengan hal-hal berikut,
a. Sesungguhnya kata
ganti orang kedua di dalam ungkapan "inqalabtum" (kamu berbalik ke
belakang) ditujukan kepada mereka para sahabat. Karena tidak logis jika yang
dimaksud adalah orang-orang kafir atau orang-orang munafik, karena mereka
adalah orang-orang yang menyimpang atau berbalik ke belakang sejak awal.
b. Ilmu tidak menjamin
pemiliknya untuk lurus. Betapa banyak manusia yang mengetahui bahwa kebenaran
berada di suatu tepian, namun disebabkan hawa nafsunya dia justru cenderung
kepada tepian yang lain. Bahkan, kebanyakan pembangkangan terjadi setelah
datangnya pengetahuan tentang kebenaran. Allah SWT berfirman,
"Dan tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka."
(QS. Ali Imran: 19)
"Dan tidaklah
berselisih tentang Kitab itu melainkan orang-orang yang telah didatangkan Kitab
kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki di antara mereka sendiri." (QS. al-Baqarah: 213)
Segala sesuatunya terang
dan jelas, namun mereka berselisih dan saling berbunuh-bunuhan, "Dan kalaulah
Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang
sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam
keterangan." (QS. al-Baqarah: 253)
"Maka pernahkah
kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, dan kemudian
Allah membiarkannya sesat atas ilmunya. " (QS. al-Jatsiyah: 23)
c. Sesungguhnya
pengorbanan-pengorbanan yang lalu dan kesabaran atas berbagai musibah, tidak
menjamin manusia untuk tidak jatuh ke dalam penyimpangan di masa yang akan
datang. Pengorbanan dan kesabaran yang mereka (para sahabat) tunjukkan tidak
lebih besar dari pengorbanan dan kesabaran yang ditunjukkan oleh Bani
Israil manakala Fir'aun memotong kaki dan tangan mereka, menyalib mereka,
membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan anak-anak perempuan
mereka, dan membunuh kaum laki-laki dari mereka, namun mereka tetap sabar
berpegang kepada seruan Nabi Musa as, dan mereka melihat dengan jelas
mukjizat-mukjizat besar yang ditunjukkan oleh Nabi Musa as, yang mana yang
terbesar darinya ialah membelah lautan menjadi dua bagian, sehingga tidak
ubahnya menjadi dua buah gunung yang besar. Namun, tatkala Nabi Musa as
meninggalkan mereka beberapa hari, mereka kembali menyembah patung anak sapi.
Sehingga sepertinya sudah menjadi watak manusia melakukan pelanggaran manakala
dia merasa cukup dan aman,
"Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas." (QS. al-'Alaq: 6)
d. Betapa pun seorang
manusia telah tinggi di dalam derajat keimanan, dia tetap tidak dimaksum oleh
Allah SWT, sehingga bisa saja dia berbalik ke belakang dan kembali kafir. Tidak
ada contoh yang lebih besar dari Bal'am bin Ba'ura,
"Dan bacakanlah
kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami
(pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat
itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), makajadilah dia termasuk
orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesunggunya Kami tinggikan
derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka
berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami
dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. Barang siapa yang
diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa
yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi." (QS.
al-A'raf: 175-178)
Apakah ada salah seorang
dari sahabat telah mencapai tingkat keimanan yang seperti ini, hingga mencapai
tingkat membawa Ism al-A'zham? Sungguh telah menyimpang orang yang telah
mencapai derajat ini, apalagi orang yang ada di bawahnya?
Timbul pertanyaan di
sini, "Pembelotan (perbuatan berbalik ke belakang) itu terjadi atas
apa?"
Bahkan, merupakan tugas
kita untuk menanyakan, atas apa pembelotan itu biasanya terjadi?
Di dalam ayat Inqilab
terdapat unsur-unsur dasar yang dapat menghantarkan kita kepada jawaban
pertanyaan ini, dengan melakukan analisa dan penarikan kesimpulan darinya:
a. Ayat Inqilab
mempunyai hubungan yang langsung dengan wafatnya Rasulullah saw, "Apakah
jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang?"
b. Pembelotan
menunjukkan adanya satu dasar yang menjadi tempat terjadinya pembelotan. Yaitu
suatu dasar yang dikenal di kalangan seluruh orang yang membelot. Karena jika
orang-orang yang membelot itu tidak mengetahui dasar ini, maka tentu tidak
dikatakan kepada mereka, "Kamu berbalik ke belakang." Bahkan, sesuatu
yang menjadi tempat terjadinya pembelotan adalah sesuatu yang dipegang teguh
oleh para pembelot untuk beberapa waktu hingga terjadinya pembelotan.
c. Sesungguhnya
perkara ini mempunyai hubungan yang langsung dengan Allah dan Rasul-Nya saw,
dan dari mereka berdualah mereka membelot.
d. Sesungguhnya bahaya
pembelotan ini akan mengenai orang-orang yang membelot, baik di dunia maupun di
akhirat, "Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur. "Allah SWT berfirman sebelumnya, "Maka dia tidak dapat
mendatangkan madharat sedikit pun kepada Allah. " Pada ayat yang lain
Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia
bersyukur bagi dirinya sendiri. "
Allah SWT menjelaskan
bahwa manfaat syukur kembali kepada hamba itu sendiri, dan demikian juga
perbuatan tidak bersyukur madharatnya akan kembali kepada si hamba sendiri.
e. Sesungguhnya
pembelotan ini mempunyai kaitan dengan sunah-sunah orang-orang terdahulu. Apa
yang orang-orang terdahulu telah membelot darinya maka orang-orang terkemudian
pun akan membelot darinya.
f. Allah SWT tidak
mengatakan, Dia akan memberi balasan kepada orang-orang Mukmin dan orang-orang
Muslim, melainkan Allah SWT mengatakan, "Dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur." Ini memberikan pengertian bahwa orang
yang tidak membelot atau berbalik ke belakang sedikit jumlahnya, "Dan
hanya sedikit dari hamba-hamba Kami yang bersyukur. " Ini dikuatkan dengan
perkataan-Nya, "Kamu berbalik ke belakang", yang memberikan
pengertian umum dan banyak. Kalau sekiranya orang-orang yang membelot itu
sedkit jumlahnya, maka tentu Allah SWT akan mengatakan, "Sebagian kamu
berbalik ke belakang", dan tentunya tidak benar mengecam mayoritas.
g. Pembelotan ini
benar-benar terjadi. Ini didasarkan petunjuk "jawab syarat" yang
memberikan pengertian terlaksana manakala terlaksananya "syarat", dan
penggunaan bentuk fi'il madhi (kata kerja lampau) yang memberikan pengertian
terlaksananya sesuatu.
h. Sesungguhnya ucapan
Allah SWT ini khusus ditujukan kepada kaum Muslimin, dan tidak ditujukan kepada
orang-orang kafir, karena mereka adalah orang-orang yang menyimpang sejak awal.
Demikian juga ayat ini tidak ditujukan kepada orang-orang munafik saja, karena
hal ini bertentangan dengan zahir ayat. Kalaulah yang dimaksud dalam ucapan
Allah SWT ini hanyalah orang-orang munafik saja, maka tentu Allah SWT akan
mengatakan, "Kamu menampakkan pembelotanmu", padahal pembelotan
(perbuatan berbalik ke belakang) itu terjadi pada saat Rasulullah saw meninggal
dunia.
Untuk mengetahui esensi
pembelotan ini, maka kita harus memperhatikan seluruh unsur dasar ini pada saat
melakukan analisa dan menarik kesimpulan, dan hendaknya kesimpulan yang ditarik
harus sesuai dengan unsur-unsur dasar ini. Karena jika tidak, maka berarti
bukan kesimpulan yang benar.
Rasulullah saw adalah
seorang pemimpin kaum Muslimin, dan setelah beliau wafat terjadi pembelotan...
Lantas kita bertanya, setelah wafatnya seorang pemimpin, atas apa biasanya
terjadi pembelotan?! Pada sisi apa Rasulullah saw berperan sebagai katup
pengaman bagi umat dari perselisihan, yang jika sekiranya Rasulullah saw tidak
ada akan terjadi perselisihan dan pertentangan. Apakah Al-Qur'an al-Karim
menjelaskan hal ini? Al-Qur'an al-Karim tidak menjelaskan secara jelas perkara
yang amat besar ini, yang tidak diterima oleh sebagian besar manusia, dan yang
Rasulullah saw sendiri merasa takut menyampaikannya kepada umat, namun Allah
SWT memerintahkan,
"Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu
tidak melaksanakannya, maka berarti katnu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah
menjaga kamu dari (ganguan) manusia." (QS. al-Maidah: 67)
Dengan memperhatikan
secara sekilas ayat di atas kita dapat menyingkap beberapa poin berikut:
1. Sesungghnya perkara
yang wajib disampaikan ini, bobotnya menyamai bobot menyampaikan seluruh
risalah. Sehingga jika Rasulullah saw tidak menyampaikannya maka dia sama
dengan tidak menyampaikan risalah. Sebaliknya, pengingkaran terhadapnya sama
dengan pengingkaran terhadap risalah, dan sikap berbalik ke belakang darinya
sama dengan sikap berbalik ke belakang dari risalah.
2. Sesungguhnya perkara
ini adalah perkara yang banyak mendapat penentangan dari manusia. Bahkan,
Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya dari manusia untuk menyampaikan perkara
ini. Oleh karena itu, Allah SWT meyakinkannya, "Dan Allah menjaga kamu dari
(gangguan) manusia."
3. Perkara ini merupakan
penyempurna risalah. Karena jika Rasulullah saw menyampaikan perkara ini maka
berarti Rasulullah saw telah menyampaikan risalah dan menyempurnakannya,
"Pada hari ini
telah Aku sempurnakan untuk katnu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu sebagai agamamu. " (QS.
al-Maidah: 3)
Ini sejalan dengan ayat
Inqilab yang mengatakan bahwa sikap berbalik ke belakang dari perkara ini
adalah berarti sikap berbalik ke belakang dari agama ini seluruhnya.
4. "Allah
menjaga kamu dari (gangguan) manusia." Ini memberikan arti bahwa sebagian
besar manusia tidak menyukai perkara yang Rasulullah saw diperintahkan untuk
menyampaikannya? Perkara apakah ini yang Rasulullah saw diperintahkan oleh
Allah SWT untuk menyampaikannya?
Pertama-tama,
sesungguhnya perkara ini mempunyai kaitan dengan sikap berbalik ke belakang.
Dan ini didasarkan kepada beberapa hal:
1.Karena perkara ini
berkaitan dengan risalah, dan berbalik ke belakang darinya adalah berarti
berbalik ke belakang dari risalah.
2.Di dalam perkara ini
terdapat sikap berbalik ke belakang, disebabkan ketidak-relaan kelompok
mayoritas terhadap perkara ini.
3.Rasulullah saw harus
menyampaikan perkara ini disebabkan ajalnya sudah dekat, "Sudah hampir
masanya aku dipanggil oleh Allah dan aku mesti menjawab panggilan-Nya",
sehingga tidak meninggalkan alasan bagi mereka untuk bisa berbalik ke belakang,
dan sekaligus menegakkan hujjah yang sempurna atas mereka. Karena perbuatan
berbalik ke belakang mempunyai kaitan dengan wafatnya Rasulullah saw.
4.Sesungguhnya perkara
yang Allah SWT inginkan Rasulullah saw menyampaikannya ialah satu perkara yang
sangat dimungkinkan manusia berpaling darinya. Karena, Rasulullah saw telah
menyampaikan seluruh risalah, dengan segenap cabangnya, namun tidak tampak
tanda-tanda ketidak-relaan dari kaum Muslimin terhadap seluruh yang telah
disampaikan Rasulullah saw, kecuali perkara ini. Rasulullah saw sendiri merasa khawatir
untuk menyampaikannya, maka Allah SWT pun memberikan jaminan kepada Rasulullah
saw untuk menjaga dan melindunginya dari gangguan manusia.
5.Rasulullah saw
berperan sebagai katup pengaman dalam masalah ini. Jika Rasulullah saw
meninggal dunia, maka lumpuhlah keamanan, dan manusia akan melakukan yang
sebaliknya.
6. Tidak ada sesuatu
yang menjadi objek dari sikap berbalik ke belakang selain dari kekhalifahan
yang ditetapkan dari sisi Allah SWT. Kekhalifahan siapa yang Rasulullah saw
sampaikan?
Hadis-hadis mutawatir,
dan begitu juga beratus-ratus kitab referensi kaum Muslimin menceritakan
peristiwa al-Ghadir dan pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah kaum Muslimin,
sebagaimana yang telah disebutkan.
Dari sini, dan dari
beribu-ribu hadis lainnya tampak jelas bahwa Rasulullah saw telah menetapkan
Ali sebagai khalifah dan Imam atas seluruh makhluk, namun hal ini tidak
mendapat kerelaan dari kaum Muslimin. Manakala Rasulullah meninggalkan dunia
yang fana ini, dengan segera mereka pun berbalik ke belakang darinya dan
merampas apa yang menjadi haknya. Dan hanya sedikit sekali dari mereka yang
tetap berpegang teguh. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Allah SWT pada
bagian akhir ayat Inqilâb, "... dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur." Dari ayat ini tampak jelas:
Pertama, mereka itu
sedikit jumlahnya. Dengan alasan,
a. Kata "ingalabtum
" (kamu berbalik ke belakang), memberikan arti umum dan mayoritas.
b. Firman Allah SWT yang
berbunyi, "Dan hanya sedikit dari hamba-hambaku yang bersyukur."
Kedua, syukur di sini
sebagai lawan dari kufur, yaitu berbalik ke belakang, "Maka di antara
mereka ada yang beriman dan di antara mereka ada yang kafir",
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus: ada yang bersyukur
dan ada pula yang kafir." Jalan ini sudah dikenal, berdasarkan beberapa
petunjuk berikut,
a. Petunjuk-Nya kepada
jalan yang lurus, "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang
lurus."
b. Perbuatan berbalik ke
belakang dari jalan yang lurus. Karena ayat di atas mengatakan, "Dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang bersyukur." Yaitu mereka yang
mengikuti jalan yang luras ini. Sehingga selain dari mereka adalah orang-orang
kafir, karena mereka berbalik ke belakang dari jalan yang lurus.
c. Alif lam ta'rif.
Jalan ini merupakan
tempat ujian dan kenikmatan pada waktu yang bersamaan. Yaitu ujian yang
dengannya manusia diuji, dan kenikmatan bagi orang yang melaluinya. Biasanya,
perbuatan berbalik ke belakang yang menyamai kekufuran adalah perbuatan
berbalik ke belakang dari kenikmatan. Manakala kepemimpinan Ali merupakan
sebuah kenikmatan, "Dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku", maka
perbuatan berbalik ke belakang terjadi atasnya, dan hanya sedikit saja yang
menerima kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana yang dikuatkan oleh hadis
Rasulullah saw yang bersabda,
"Ketika aku sedang
berdiri tiba-tiba datang sekelompok orang yang aku kenal. Lalu keluarlah
seorang di antara kami dan berkata, 'Mari.' Aku bertanya, 'Ke mana?' Dia
menjawab, 'Ke neraka, demi Allah.' Aku bertanya, 'Apa kesalahan mereka?' Dia
men-jawab, 'Mereka telah murtad sepeninggalmu dan telah berbalik dari
kebenaran.' Dan aku tidak melihat yang tersisa kecuali sedikit sekali, seperti
sekelompok unta yang tersisih."
Hadis ini menguatkan apa
yang dikatakan di dalam ayat inqilab, yaitu hanya sedikit orang yang bersyukur
terhadap kenikmatan. Rasulullah saw mengatakan, "Aku tidak melihat yang
tersisa kecuali sedikit sekali, seperti sekelompok unta yang tersisih."
Sebagaimana kelompok unta yang terpisah dari rombongannya sedikit sekali
jumlahnya, maka demikian pula para sahabat yang selamat sedikit sekali
jumlahnya.
Dalam hadis yang lain
Rasulullah bersabda, "Aku akan mendahului kamu di telaga. Siapa yang
berlalu dariku dia akan minum, dan siapa yang telah minum dia tidak akan dahaga
selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang aku kenal dan mereka juga
mengenalku, datang kepadaku. Kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan
berkata, 'Sahabatku, sahabatku.' Lalu dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang
telah mereka lakukan sepeninggalmu.' Dan aku pun berkata, 'Enyahlah, enyahlah
mereka yang telah berubah sepeninggalku.'"
Rasulullah saw pernah
berkata kepada Abu Bakar, manakala Rasulullah meyaksikan para syuhada ahli
surga. Rasulullah saw berkata, "Adapun berkenaan dengan mereka, aku
memberikan kesaksian bagi mereka." Lalu Abu Bakar berkata, "Dan juga
bagi kami, hai Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Adapun
mengenaimu, aku tidak mengetahui apa yang akan kamu lakukan sepeninggalku. •
* Makalah ini adalah cuplikan dari buku “Kebenaran Yang Hilang”,
karya Syeikh Mu’tashim Sayid Ahmad.
[1] Syarh
Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 2, hal. 2.
[2] Syarh
Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 3, hal. 2-5.
[3] Musnad
Ahmad, jld. 1, hal. 55; Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 466; Ibnu Atsir, jld.
2, hal. 124; Ibnu Katsir, jld. 5, hal. 246.
[4] Al-'Iqd
al-Farid, jld. 3, hal. 64; Abul Fida, jld. 1, hal. 156.
[5] Ansab
al-Asyraf, jld. 1, hal. 586; Kanz al-'Ummal, jld.3, hal. 140; ar-Riyadh an-
Nadhirah,)\A 1, hal. 167.
[6] Tankh
Ya qubi, jld. 2, hal. 126.
[7] Tarikh
ath-Thabari, jld. 2, hal. 443 - 446.
[8] Syarh
Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. l, hal. 143, dan jld. 2, hal. 2 - 5.
[9] Sahih
Bukhari, jld. 5, hal. 177, dan jld. 4, hal. 96.
[10] Al-Imamah
wa as-Siyasah, jld. l, hal. 25.
[11] Tarikh
ath-Thabari, jld. 2, hal. 619; Murur adz-Dzahab, jld. l, hal. 414; al- 'Iqd
al-Farid, jld. 3, hal. 69; Kanz al-'Ummal, jld. 3, hal. 135; al-Imamah wa
as-Siyasah, jld. l, hal. 18; Tarikh adz-Dzahabi, jld. 1, hal. 388.
[12] Tarikh
Ya'qubi, jld. 2, hal. 115.
[13] Al-lmamah
wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 19.
[14] Al-lmamah
wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 19.
[15] Munadzarat
fi al-Imamah; al-Manaqib, Ibnu Syahrasyub, jld. 1, hal. 270.